Wanita paruh baya itu kembali memandang ke arah jalan raya melalui jendela beling di beranda depan sebuah rumah adat. Entah berapa kali semenjak tadi ia lakukan hal itu. Mengamati dari jauh kendaraan yang kemudian lalang di jalan raya di sore yang teduh dan cerah.
Maria, perempuan yang tengah duduk sendirian di beranda rumah tak berpenghuni itu nampak dilanda galau. Itu terperinci terlihat dari gerak-geriknya dari tadi. Sebentar-sebentar menoleh ke arah jalan raya. Sebentar-sebentar membuka android-nya.
Ia berharap seseorang akan melintas di antara sekian banyak pengendara yang hilir pulang kampung di jalan raya. Ia tak berharap Afrizal, seseorang yang dicarinya itu mampir namun sekadar melihat pun sudah cukup berarti baginya.
Seketika pandangannya berubah nanar mana kala tidak ditemukan yang dicarinya. Harapannya sekadar untuk melihat lelaki itu melintas di jalan raya dengan motornya semakin pudar. Kepercayaan dirinya menjadi hilang dikala menyadari apa yang dilakukannya sebuah kekonyolan.
Sontak Maria bangkit tatkala seorang pengendara motor melintas pelan di jalan depan rumah susila itu. Pria itu menggunakan helm warna hitam dan jaket hitam dengan celana jeans biru kumal.
“Bukan dia…!” gumamnya kecewa. Lalu ia kembali duduk di bangku rotan panjang di beranda rumah susila berusia renta itu.
Maria menghela nafas. Berat sekali helaan nafasnya. Rasa rindu terhadap lelaki mantan pacarnya masa kemudian itu semakin terasa membelenggu diri.
“Semua memang sudah guratan tangan...” keluhnya membatin. Guratan takdir telah membuatnya tidak bersatu. Kisah anggun itu berakhir begitu saja, tak berujung pangkal. Dimulai begitu anggun namun berakhir tanpa kata dan bicara.
Maria telah berusaha mencari gosip ihwal keberadaan Afrizal. Bertanya kesana kemari bahkan tiba ke negri Afrizal Namun usahanya itu sia-sia. Beberapa tahun kemudian Maria mendengar kabar bila Afrizal telah menikah.
Setelah memastikan tak mungkin lagi bertemu dengan Afrizal, Maria tetapkan untuk menikah dengan seorang lelaki pilihan orangtuanya. Kini Maria sudah diakruniai tiga orang anak yang sudah berangkat remaja dan dewasa.
Suatu dikala Maria iseng membuka akun facebooknya. Tak sengaja ia menemukan satu saran pertemanan. Ia terkejut melihat foto profil laki-laki yang berjulukan Putra Perdana itu. Rasanya orang di foto profil pernah dikenalnya meskipun namanya sudah diganti.
Berulangkali Maria meyakinkan dirinya bila foto profil itu milik Afrizal, lelaki yang pernah dikenalnya sangat erat pada masa lalu.
Maria mencoba mengirim pesan facebook mesenger menanyakan apakah benar itu Afrizal.
“Maaf, apakah ini akun bapak Afrizal?” tulis maria dengan panggilan bapak di depan namanya.
Namun tak usang berselang pesan Maria dibalas.
“Benar, buk Maria.”
“Apakah bapak masih mengingat saya?
“Tentru saja. Mana mungkin saya lupa dengan ibuk,”
“Alhamdulillah, ternyata saya tidak salah..” tulis Maria dengan gembira.
Sejak itu kurun gres kontak media umum facebook dimulai. Berawal dari chating perdana itu, Maria dapat bertemu muka. Pertemuan yang sangat mendebarkan bagi Maria.
Sejak pertemuan pertama itu Maria sering dibelenggu rasa kangen. Akan tetapi untuk bertemu terlalu sering tidak memungkinkan lagi. Maria menyadari dirinya dan Afrizal hanyalah potongan dongeng sendu masa kemudian yang membekas kembali dalam dunia nyata.
“Mama..!”
Panggilan itu telah membuyarkan lamunan Maria. Seorang gadis berangkat remaja menaiki tangga rumah susila
“Ngapain mama duduk sendirian terdiam disitu?” tanya gadisnya itu menciptakan Maria tersipu malu. Simak juga cerpen ini : Reuni Cinta Masa Lalu
“Ah, mama nggak ngapa-ngapain, koq” sahut Maria berbohong.
“Oh…” (Sekian).