jasa service genset | jasa perbaikan genset | overhaul genset cirebon#brebes#indramayu#karawang#subang#tegal#cikampek

JASA SERVICE GENSET: Cerpen

SERVICE GENSET AND OVERHAUL

serviceindonesia.blogspot.com adalah jasa perbaikan atau service genset, UPS, overhaul genset / engine & Mesin Kapal . Berlokasi di Bekasi dengan team yang solid dan paham akan perkembangan mesin genset, Kami akan senantiasa berkomitmen mengakomodasi setiap kebutuhan Anda. Karena itulah, client kami berasal dari beragam latar belakang, dari personal user, perusahaan dan instansi pemerintah


Layanan Perbaikan Genset Cirebon | Tegal | Indramayu | Subang | Cikampek | Karawang

Menerima Layanan Jasa Service Genset Cirebon | Tegal | Indramayu | Subang | Cikampek | Karawang

Layanan Perbaikan Genset Cirebon | Tegal | Indramayu | Subang | Cikampek | Karawang

Menerima Jasa Perbaikan | Service | Overhaul Pada Genset Anda dalam berbagai Jenis

Jasa Overhaul Genset Cirebon | Tegal | Indramayu | Subang | Cikampek | Karawang

Jasa Overhaul Genset Cirebon | Tegal | Indramayu | Subang | Cikampek | Karawang.

Layanan Perbaikan Genset Cirebon | Tegal | Indramayu | Subang | Cikampek | Karawang

Kami Menerima Layanan Jasa Perbaikan | Service | Overhaul Pada Genset Anda.

Layanan service Genset Cirebon | Tegal | Indramayu | Subang | Cikampek | Karawang

Serahkan Kepada Kami ahlinya di berbagaimacam Alat berat dan juga kerusakan pada genset anda.

Kabar Gembira Buat kamu yang ga sengaja kunjungi Blog ini !!!

jarang-jarang kamu bisa nemuin Harga SOUVENIR se Murah ini..

karena ini kami buat sengaja buat kamu yang ga sengaja berkunjung ke Blog kami dengan ulasan kami selain dari ulasan souvenir

Nah buat kamu yang tertarik dengan Harga-harga souvenir kami, bisa langsung hubungi whatsapp kami di 081296650889 atau 081382658900

caranya screenshoot atau sertakan link url souvenir yang kamu minati pada blog ini, kirimkan kepada kami di nomer yang sudah tertera dia atas

tanpa screenshoot atau link blog kami, kemungkinan kami akan memberikan harga jual yang ada pada toko kami yang cenderung lebih tinggi tentunya

Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan

Selasa, 29 Januari 2019

Nining, Kekasih Dalam Khayalan

Aku bukanlah seorang pengidap fictophillia. Pembaca dongeng fiksi yang jatuh cinta pada tokoh dalam dongeng novel atau cerpen yang dibacanya. Setengah mati mengidolakan sosok perempuan  tokoh utama dalam cerita. Kemudian mencari-cari perempuan yang seakan-akan dengan tokoh fiksi itu di dunia nyata.

 Pembaca dongeng fiksi yang jatuh cinta pada tokoh dalam dongeng novel atau cerpen yang diba Nining, Kekasih dalam Khayalan
Ilustrasi perempuan kekasih hayalan (pexels.com)

Dan aku, juga bukan seorang lelaki yang terobsesi oleh lagu Kekasih Hayalannya, Ello.Aku memang suka lagu itu. Tapi sekali lagi tidak terobsesi oleh lagu itu.

Tetapi saya benar-benar mengagumi seorang tokoh wanita, pelaku dalam kehidupan nyata. Tokoh perempuan yang sering berjumpa denganku dalam kehidupan sehari-hari., Nining Saraswati.

Nining yaitu temanku sendiri. Wajar saja saya dapat berjumpa dengannya. Namun tidak ada yang ajaib atau janggal dalam pertemanan itu. Hanya saja, saya  sering mencuri-curi pandang ketika akrab dengannya. Dan saya yakin, Nining tidak mengetahui gelagat anehku itu.

Nining berwajah sederhana namun penampilannya menarik  Penampilannya yang menarik boleh jadi menciptakan ia nampak manis dan memesona di mataku.

Kadangkala Nining menciptakan saya tersinggung. Akan tetapi saya memakluminya dan tidak pernah murka kepadanya. Pada kesempatan lain mungkin juga saya yang menyinggung perasaannya. Namun setahuku ia tak menaruh dendam padaku.  

Sungguh mati!  Aku tak mungkin menyatakan kekagumanku pada Nining. Apalagi untuk menyatakan perasaan lebih dari rasa kagum itu pada Nining, tokoh perempuan dalam kisah kehidupan nyata.

Sering saya tersenyum senang ketika mengingat Nining. Disaat beliau jauh ia terasa akrab di hati. Ketika hatiku galau, senyum dan canda Nining seakan menghibur diriku.
Biarlah Nining Saraswati menjadi kekasih dalam hayalanku. Kekasih yang tak mungkin pernah mencicipi apa yang sedang kurasakan. Kekasih sebagai tokoh perempuan idaman dalam kehidupan nyata.

Kamis, 27 Desember 2018

Pesan Ayah Wacana Gaji

Belasan tahun Johan menjadi pegawai negeri sipil guru. Ia diangkat pertama kali menjadi pegawai guru dengan golongan dua. Tentu saja penghasilan dari golongan rendah itu belum mencukupi untuk kebutuhan hidup rumah tangga.

Belasan tahun Johan menjadi pegawai negeri sipil guru Pesan Ayah Tentang Gaji
Ilustrasi pesan ayah wacana honor (pixabay.com)

Dari bulan ke bulan terpaksa berhutang pada teman seprofesi. Kemudian dikala mendapatkan honor di awal bulan, yang diutamakan Johan ialah membayar hutang. Dengan cara menyerupai itu, rekan-rekan seprofesi akan percaya dan mau meminjamkan uangnya.

Begitulah kehidupan Johan dari bulan ke bulan sebagai pegawai negeri golongan rendah dengan tanggungan istri dan dua anak. Gali lubang tutup lubang, menyerupai kata pepatah.

Tapi masih untung dikala itu bawah umur Johan masih kecil sehingga belum banyak mengeluarkan uang untuk membiayai pendidikan anaknya. Masih untung juga waktu itu biaya hidup untuk yang lain-lain, belum banyak.

Johan menghela nafas... 

Terasa sesak dikala membandingkan kehidupannya semasa bergolongan rendah dengan masa kini ini. Kini anak-anaknya sudah memasuki dingklik pendidikan menengah dan tinggi.

Saat ini memang, Johan sudah bergolongan paling tinggi untuk jabatan pegawai negeri guru. Bahkan sudah ada pula aktivitas sertifikasi guru sehingga penghasilannya jauh lebih besar.

Johan tak habis pikir. Dulu dengan honor pas-pasan, ia sanggup hidup dengan tenang. Sekarang dinamika hidup itu semakin menciptakan ia selalu berlari dan berlari kencang. Mengejar sesuatu yang tak pernah terang apa wujudnya.

Sekejap Johan teringat pesan almarhum ayahnya. Ketika beliau diangkat sebagai pegawai negeri pertama kali, ayahnya berpesan supaya selalu bersyukur. Gaji yang diterima setiap bulan, besar atau kecil, harus disyukuri.

Jika honor yang diterima disyukuri maka Allah SWT akan mencukupinya. Tidak mesti dengan jumlah melainkan dengan berkahnya. Gaji yang kecil disyukuri akan terasa menciptakan hidup tentram alasannya ialah memang honor itu mempunyai keberkahan.

Gaji yang diterima tiap bulan itu ialah halal. Namun jangan bersembunyi di balik label halal honor yang diterima. Gaji yang dibayarkan pemerintah itu berasal dari uang rakyat. Maka tunaikanlah kewajiban sebagai pegawai negeri dengan sebaik mungkin.

Semakin tinggi pangkat atau jabatan semakin tinggi pula honor yang dibayarkan oleh pemerintah. Sejalan dengan itu kiprah dan tanggung jawab pegawai negeri juga semakin besar.

“Jika kau melalikan kiprah dan tanggung jawabmu sebagai pegawai negeri maka lambat atau cepat, kau akan merima akibatnya, Johan. Paling tidak menciptakan bathinmu tidak tentram, selalu merasa kurang dan lain sebsagainya yang tidak nampak secara fisik oleh orang lain. Itu tandanya honor yang kau terima tidak berkah.” tutur ayahnya tegas.

Johan tersentak dari lamunannya...

“Maafkan aku, ayah. Mungkin saya telah lupa pesanmu selama ini sehingga saya mencicipi betapa honor yang kudapatkan terasa kurang berkahnya. Hidupku lebih banyak gelisah tanpa tahu penyebabnya.

Johan segera bangkit. Melangkah ke kamar mandi dan berwudhuk. Kemudian melakukan shalat Isya bersama istrinya. Ia jadi sadar jikalau selama ini dirinya kurang besyukur dan melupakan pesan ayahnya. (Kiriman:  Rajo Mudo)

Rabu, 21 November 2018

Surat Kaleng Indah Yang Tercecer

Pak Syukri tersenyum kecil sesudah berhenti berbicara. Dalam keadaan kelas menyerupai ini ia menentukan membisu ketimbang melanjutkan menunjukan pelajaran.  Dua atau tigas siswa yang duduk barisan belakang ruangan kelas, terlihat kusuk kasak. Mereka seolah-olah mencuri kesempatan untuk berbicara.

 tersenyum kecil sesudah berhenti berbicara Surat Kaleng Indah yang Tercecer
Ilustrasi surat kaleng (pixabay.com)

          Dan itu terperinci teramati melalui sudut mata pak Syukri. Posisinya berdiri, menulis di papan tulis ketika menunjukan pelajaran agak menyamping. Dengan ekor mata akan sanggup mengawasi semua siswa di kelas itu meskipun sedang menulis di papan tulis.
         “Sepertinya, ada sesuatu yang kurang beres pada bawah umur bapak yang duduk di bab belakang,” cetus pak Sukri sesudah melempar senyum kecilnya.
          Spontan semua mata menoleh ke arah belakang ruangan kelas. Ingin tahu apa yang terjadi dengan teman-temannya yang duduk di formasi bab belakang. Yang merasa terganggu oleh tingkah temannya dibelakang melayangkan ucapan protes.
         Ada juga yang merespon dengan meneriakkan temannya yang telah menghentikan proses pembelajaran. Suasana kelas agak gaduh.
        “Sudah, sudah…” ujar pak Syukri memperlihatkan aba-aba dengan tangan untuk meredakan bunyi siswa yang duduk di bab depan.
         Ketika suasana kelas sudah kondusif dan terkendali, pak Syukri menggarut-garut kepalanya yang memang tidak gatal.
        “Hm, yang lain diam, ya? Jangan berkomentar dulu alasannya bapak mau bertanya pada sahabat kalian yang duduk di bab belakang,” kata pak Syukri dengan bunyi berat dan berwibawa. “Ada apa gerangan yang terjadi dengan kalian yang duduk di bab belakang itu?”
         Siswa-siswa yang dimaksud pak Syukri tidak memberi respon. Namun tiba-tiba salah seorang di antaranya, maju ke depan kelas membawa sesuatu. Kemudian menyerahkan pada pak Syukri.
         “Apa ini?” tanya pak Syukri mengerinyitkan dahi.
      “Surat kaleng, pak,” sahut Jumadi menyerahkan secarik kertas seraya berbalik dan kembali ke daerah duduknya di belakang.
            Pak Syukri membacanya sekilas. Namun kemudian menyimpan dalam saku celananya. Setelah itu kembali pak Syukri melanjutkan menunjukan pelajaran.
           Di kantor majelis guru, pak Syukri membaca isi secarik kertas yang diserahkan siswanya tadi.
         Nita, kau somse (sombong sekali) deh. Aku sudah usang suka padamu tetapi kau hirau taacuh aja. Tidak kah kau merasa salah seorang di antara temanmu menaruh simpati kepadamu? Salah seorang temanmu itu yakni aku… (dariku yang mengagumimu, ES).
         Pak Syukri geleng-geleng kepala seraya tersenyum kecil. Bukan main anak sekolah zaman sekarang. Masih Sekolah Menengah Pertama sudah cendekia menciptakan surat dengan kalimat indah
        “Hm.., maaf pak. Bapak memanggil saya?”
         Pak Syukri terkesima. Salah seorang murid wanita sudah bangun di hadapannya.
         “Oh, ya…Benar. “ sahut pak Syukri sedikit gugup.
        “Kamu sudah mengetahui, kenapa dipanggil ke ruangan ini?
        Anita Swara, siswa wanita itu menggeleng.
        “Hm, apakah selama ini kau merasa ada sahabat kau (laki-laki) yang begitu bersikap absurd kepadamu?”
         Anita terdiam.
        “Ya, coba kau renung-renungkan sebentar. Mungkin ada di antara teman-teman kau yang bersimpatik padamu,” timpal pak Syukri.
          “Hmmm, ada pak. Dia sering mengganggu Nita,…” hasilnya Anita teringat seorang temannya yang bersikap absurd kepadanya.
          “Namanya?” pintas pak Syukri cepat.
          “Edward Samsir, pak.”
          “Oh, Edward.” Pak Syukri manggut-manggut.
           Ia mulai menduga bila pengirim surat kaleng yang dikantonginya, dengan inisial ES yakni nama yang disebutkan Anita barusan.
         “Kamu yakin yang menulis surat kaleng ini, Edward Samsir?” tanya pak Syukri seraya memperlihatkan secarik surat yang ditulis tangan..
         Anita terkejut bukan main. Perlahan diamatinya surat yang diperlihatkan oleh pak Syukri. Darahnya berdesir manakala membaca isi surat kaleng itu. Malu, takut, berbaur jadi satu. Ia yakin benar bila itu yakni goresan pena Edwar Samsir.
         “I…Iya…pak,” jawab Anita gugup.
         “Apa dasarnya keyakinanmu?”
         “Saya tahu bentuk goresan pena tangan Edward, pak.”
       “Ya, sudah... Terima kasih. Tapi surat ini bapak simpan, dan kau kembali ke kelas. Oke?”
        “Iya, pak.” Anita menyalami pak Syukri dan meninggalkan ruangan majelis guru.
     Keesokan harinya, pak Syukri memanggil Edward dan menasehatinya supaya tidak mengulangi lagi perbuatan ceroboh tersebut. Pak Syukri menentukan untuk tidak berbagi kasus inovasi surat kaleng di kelas itu. Tentunya supaya kedua siswa tersebut tidak merasa malu.

Kamis, 01 November 2018

Antara Nasibku Dan Nasibmu Kini

Lalu lintas padat merayap tatkala memasuki area pasar tradisional. Kendaraan roda dua maupun roda empat terjebak dalam rangkaian kemacetan dari dua arah yang berlawanan. Masing-masing pengemudi dan pengendara hendak berusaha untuk membebaskan diri dari kemacetan.

 merayap tatkala memasuki area pasar tradisional Antara Nasibku dan Nasibmu Kini
Ilustrasi ibu dan anak (pexels.com)

Namun perjuangan itu seakan sia-sia lantaran jalan raya menjadi sempit oleh kendaraan yang parkir seenaknya di kiri dan kanan jalan.

Anak sekolah dan pegawai yang bertugas sudah tidak sabaran berada dalam kemacetan. Khawatir akan terlambat hingga di sekoalh. Kalau terlambat hingga di sekoalh akan mendapat sanksi.

Rikasari, seorang ibu muda nampak duduk damai di belakang stir sebuah kendaraan beroda empat mewah. Ia sudah terbiasa berada dalam perangkap kemacetan setiap melewati pasar tradisional itu.

Sayup-sayup terdengar bunyi pedagang kaki lima meneriakan barang dagangannya.

“Dipilih dipilih, sayang anak sayang anak,
kemarilah buk, kemarilah pak
yang punya anak kecil.”

“Mama.., ntar Chika dibelikan mainan ya, ma?” ujar seorang bocah kecil yang duduk di sebelah kiri Rikasari. Chika setengah merengek tatkala mendengar bunyi pedagang mainan.
“Iya, sayang…” sahut Rikasari tenang.

Sebagai single parent, Rikasari sangat mencintai putri semata wayang buah hati perkawinannya dengan almarhum suaminya, Suradi. Itu sebabnya mengapa ia belum berkeinginan mencari pengganti dan tetapkan untuk membesarkan Chika.

Setelah berhasil lolos dari kemacetan jalan yang membelah pasar, ibu muda itu memarkir mobilnya di halaman sebuah rumah penduduk di pinggiran pasar.

“Hm, Chika mau mainan apa, sayang?” tanya Rikasari seraya membimbing anaknya memasuki pasar.

“Helikopter, ma…”

Rikasari menyeruak keramaian pasar menuju arah bunyi pedagang penjual mainan anak. Makin usang teriakan pedagang mainan terdengar makin keras. Rikasari dan anaknya hingga pada pedagang penjual mainan anak.

Sejenak Rikasari memperhatikan pedagang mainan anak itu. Ia mengenakan rayben hitam. Topi lebar yang menutupi kepala menciptakan sosok pedagang mainan itu menjadi tidak jelas.

Sementara itu Budiman, sang pedagang mainan anak itu cukup kaget ketika di balik rayben hitamnya melihat ibu muda dan anaknya sudah bangun mendekati dagangannya. Hatinya berdegup kencang. Kenapa tidak? Budiman sangat mengenal sosok ibu muda itu meskipun sudah hampir sepuluh tahun tidak bertemu.

Dari tadi Budiman berusaha untuk damai dan terus meneriakan mainan anak barang dagangannya. Ia berusaha berpura-pura tidak mengenal sosok di hadapannya. Berusaha biar Rikasari, perempuan yang pernah bersahabat dengannya semasa kuliah dulu, tidak mengenalnya.

“Bang, ada mainan helikopter nggak?” tanya Rikasari tanpa menoleh, melainkan mencari-cari mainan helikopter di tengah tebaran mainan anak yang ada di lapak sederhana itu.

“Oh, ada, buk…” sahut Budiman agak gugup, Setelah mengambil sebuah mainan helikopter, Budiman menyerahkannya pada Rikasari.

“Berapa harganya, bang?”

“Tiga puluh ribu saja,  buk..”

“Kemahalan…”

“Oh, Itu sudah harga biasa, buk.”

“Boleh dikurang tidak, bang?”

“Khusus buat anak ibuk yang elok itu, bayar duapuluh lima ribu saja, buk……”

Kalimat Budiman tergantung di udara. Tak sengaja rayben hitam yang dikenakannya terjatuh ketika mengepak mainan helikopter.

Dengan cepat Budiman memungut kembali raybennya. Namun apa hendak dinyana, Rikasari sempat melirik raut wajah pedagang mainan anak itu.

Rikasari kaget ketika melihat sosok penjual mainan anak itu. Rasanya ia pernah mengenal pedagang mainan anak ini. Ia, tak salah lagi. Lelaki itu yaitu Budiman, lelaki yang dikenalnya semasa kuliah dulu.

“Maaf, ini Bang Budiman…?” tanya Rika coba menebak.

Budiman tersedak. Terpaksa mengangguk, mengakui tebakan Rikasari benar.

Kini Budiman merasa kedoknya sudah terbuka. Oleh alasannya yaitu itu ia tak mungkin mengelak lagi. Kemudian membuka rayben dan topi lebarnya.

“Masyaallah, bang….Allah telah mempertemukan kita kembali di pasar ini,” ujar Rikasari sendu.

******

Budiman segera menutup dagangannya sehabis Rikasari meminta waktu untuk ngobrol. Kemudian mereka mampir di lapak es cendol tak jauh dari lapaknya.

“Nasib kakak kurang beruntung, Rika…” ujar Budiman.

“Maksud abang?”

“Setelah simpulan kuliah, kakak tidak berhasil mendapat pekerjaan layak. Akhirnya terpaksa jadi pedagang mainan anak…,”

“Tapi kakak masih beruntung dari saya,” potong Rikasari.

“Kenapa?”

“Saya hanya jadi ibu rumah tangga simpulan kuliah dan kini….” Suara Rikasari memarau.

“Kini bagaimana, Rika?”

“Saya kini single parent, papanya Chika meninggal dunia setahun lalu.”

“Maaf Rika, kakak tidak bermaksud membuka kesedihanmu…”

“Tidak apa-apa, bang…Bagaimana keadaan kakak sekarang?” Rikasari mengalihkan persoalan.

Budiman menghela nafas.

“Seperti yang kau lihat sekarang..”

“Keluarga abang?”

Budiman tersedak dan batuk ketika meneguk es cendol di gelasnya.

“Abang belum berkeluarga, Rika.” sahut Budiman kemudian.

 “Oh ya, kapan-kapan kakak mampir ke rumah saya ya, bang…”

“Bila ada waktu kakak akan mampir. Mudah-mudahan pekan depan kakak berdagang lagi di pasar ini dan mampir ke rumahmu, “ kata Budiman.

Kemudian Rikasari pamit. Menghilang di tengah keramaian pasar. Sementara Budiman nampak terduduk di dingklik panjang lapak es cendol. Ada rasa hiba di hati Budiman mengenang kisah Rikasari.  

Kamis, 27 September 2018

Gadis Anggun Murid Pak Guru

Andri memutar tubuhnya sembilan puluh derajat. Kini tubuhnya miring, menghadap ke arah cermin hias yang tergantung dinding kamar kostnya. Matanya tak sengaja menatap gelang biru yang tergantung di paku, persis di bawah cermin hias itu.


 memutar tubuhnya sembilan puluh derajat Gadis Cantik Murid Pak Guru
Ilustrasi gadis manis murid pak guru (pixabay.com)

Gelang biru itu telah menggerakkannya untuk bangun dari daerah tidur. Kemudian meraih gelang biru kenang-kenangan dari muridnya itu
“Marsita…”
 Tak sengaja bibir Andri menyebut nama yang tertulis di gelang biru itu. Tiba-tiba wajah murid manis itu kembali bersarang di angan-angannya. Seorang murid manis di kelas yang diajarnya dikala praktek pengalaman lapangan di sebuah SMP.
 “Pak…, tunggu…!”
Seorang siswa wanita berteriak memanggil seraya mempercepat langkah mengejar langkah gurunya. Guru muda itu menghentikan langkahnya, kemudian menoleh ke belakang.
 “Ada apa, Marsi?” tanya Andri
“Bapak sibuk, ya?”
“Hm, enggak juga. Emanngnya kenapa?”
“Boleh minta waktu untuk bicara dengan bapak?”
“Tentu saja boleh. Hm, tampaknya penting banget,”
“Dibilang penting, enggak. Di bilang ndak penting… entahlah..”
“Baiklah, kita ke bawah pohon itu, supaya nyaman ngomongnya..” ujar Andri seraya melangkah menuju pohon mangga yang rimbun di pekarangan sekolah.
Sampai di bawah pohon mangga, Marsita tak bicara apa-apa. Sementara itu Andri juga diam. Menunggu apa yang disampaikan Marsita.
“Pak….?’ Marsita nampak ragu-ragu.
“Iya…, kau mau ngomong apa…?”
Marsita membisu lagi.
“Tidak usah malu, ngomong saja…” desak Andri.
“Usai program perpisahan ini, bapak enggak akan kesini lagi ya?”
“Hm, mungkin…”
Marsita merongoh saku roknya. Kemudian mengeluarkan sebuah benda melingkar berwarna biru.
“Pak…, terimalah gelang biru ini sebagai kenang-kenangan dari murid yang pernah bapak ajar,” ujar Marsita dengan bunyi terbata-bata seraya menyodorkan gelang itu pada tangan Andri.
Andri menyambut gelang biru itu dari muridnya. Namun guru PL itu mendadak bengong dikala Marsita pergi begitu saja sesudah menunjukkan gelang berwarna biru itu.
Andri hanya geleng kepala.
*****
Lamunan Andri buyar. Ia menghela nafas. Perlahan kembali meletakkan gelang berwarna biru itu kembali pada paku gantungan di bawah cermin hias.
Entah mengapa wajah Marsita selalu hadir dalam angannya. Seorang siswa manis namun cerdas. Tapi entah kapan lagi akan berjumpa dengan Marsita nun jauh di sekolah sana.
Satu-satunya kenang-kenangan dari siswa yang masih tersisa hanyalah gelang berwarna biru dukungan Marsita.
Waktu satu semester untuk praktik mengajar terasa begitu cepat berlalu. Ia gres menyadari dikala program perpisahan dengan mahasiswa PL. Ternyata mengajar itu pekerjaan yang menyenangkan.
Waktu bergulir begitu cepat lantaran selalu bergaul dengan anak didik. Tidak hanya di ruang kelas dalam acara mencar ilmu mengajar tatap muka. Mendampingi siswa berkegiatan ekstrakurikuler tak kalah asyiknya.
Jadi guru PL saja sudah mengasyikkan apalagi jadi guru benaran. Oleh lantaran itu Andri bertekad untuk menuntaskan perkuliahannya sempurna pada waktunya.
 “Jika saya wisuda nanti dan berhasil jadi guru benaran, niscaya  akan kucari kembali kau Marsita, meskipun suasananya mungkin sudah jauh berbeda,”.kata Andri membatin.

Jumat, 03 Agustus 2018

Setumpuk Surat Cinta Dari Yuni

Dengan berat hati Mardi membenamkan tumpukan surat itu ke dalam tanah. Lubang yang sudah digalinya dengan pacul. Tidak begitu dalam namun cukup untuk menguburkan semua surat itu berwarna merah jambu itu.


engan berat hati Mardi membenamkan tumpukan surat itu ke dalam tanah Setumpuk Surat Cinta Dari Yuni
Ilustrasi surat cinta dari Yuni (pixabay.com)

Setelah menimbun lubang berisi surat-surat itu, Mardi memadatnya dengan kaki. Ia tak akan melihat tumpukan surat itu lagi. Surat-surat itu akan hancur lebur dimakan cacing, terurai oleh basil menjadi tanah.
Mardi menghela nafas ringan. Memang terasa agak ringan sehabis surat-surat dari Yuni dikuburkannya di kebun pisang belakang rumahnya.
Tumpukan kertas itu niscaya akan lebur menjadi tanah. Tetapi Mardi tidak tahu apakah ia sanggup melupakan Yuni. Membuang bayangan Yuni dari alam pikirannya. Kemudian menguburkannya bersama perjalanan waktu.
Tanpa sepengetahuan Mardi. Dari tadi ada sepasang mata yang memperhatikan gerak-gerik Mardi di kebun pisang di belakang rumah. Seorang perempuan paruh baya yang sangat prihatin dengan nasib Mardi.
“Kasihan kau nak…” Perempuan paruh baya itu membatin lirih. 
Sebagai seorang ibu, ia sanggup mencicipi betapa hancurnya hati dan perasaan Mardi sehabis diputuskan oleh Yuni. Apalagi tak ada angin tak ada hujan, Yuni mendadak memutuskan kekerabatan yang sudah terbina empat tahun.
Bu Maryam, perempuan paruh baya itu bergegas menghindari kawasan itu. Khawatir diketahui keberadaannya oleh Mardi.
******
“Ibu kasihan dengan kamu, Nak…Ibu berharap dengan cara kau menguburkan semua surat dari Yuni tadi sore, ibu berharap kau sanggup melupakannya.” tutur Bu Maryam usai makan malam.
“Lho? Dimana ibu tahu jikalau Mardi menguburkan surat-surat dari Yuni?” tukas Mardi heran. Padahal tadi sore ia berusaha rahasia supaya tidak diketahui oleh siapa pun di rumah orangtuanya itu.
“Ibu tak sengaja melongok ke kebun pisang belakang melewati jendela samping rumah. Kemudian mendengar bunyi sesuatu dan alasannya ingin tau Ibu coba mendekat. Ternyata kamu, Nak…” jawab Bu Maryam berterus terang.
*****
“Bu, kenapa ya, akhir-akhir ini Mardi sering bermimpi bertemu dengan Yuni,” ujar Mardi.
“Kok bisa, ya?”
“Apa alasannya Mardi telah menguburkan surat-surat dari Yuni itu, Bu?”
“Apa hubungannya kau menguburkan surat dari Yuni dengan mimpi bertemu dengannya?”
Mardi tercenung. Apa yang dikatakan Ibunya memang benar.
“Ibu curiga, Mardi…”
“Curiga gimana, bu?”
“Jangan-jangan kau masih mengharapkannya kembali. Surat-surat dari Yuni boleh saja kau bakar atau kau kuburkan. Tetapi pikiran kau kepada Yuni terus,”
“Ya, enggak lah, Bu…”
“Yang benar…”
“Benar, bu. Sungguh, Mardi telah melupakan Yuni,”
“Kamu sudah punya pengganti, Yuni?”
“Belum, Bu…”
“Ibu sarankan supaya kau cari pengganti Yuni dengan perempuan lain supaya kau benar-benar melupakannya,”
Mardi tercenung.
“Murni juga cantik, baik dan tak kalah dengan Yuni,” kata Bu Maryam kemudiam.
“Ah, ibu sanggup saja…”Mardi tersipu.
“Ibu serius. Ia niscaya mau jadian dengan kamu.”
Mardi terdiam lagi. Mulutnya tak sanggup mengucapkan apa-apa mendengar apa yang dikatakan Ibunya barusan.
Simak juga : Bocah Manis Memesona
Bu Maryam sedikit lega dengan respon putranya. Dengan mengubur setumpuk surat cinta dari Yuni, lalu mencari penggantinya. Mardi benar-benar akan melupakan Yuni.

Selasa, 24 Juli 2018

Bocah Elok Memesona

Tak bosan-bosannya saya memperhatikan bocah itu. Dari balik jeruji besi pagar rumah glamor dan megah. Sambil membungkukkan badan saya sanggup mengamatinya dengan leluasa. Dengan cara ini bocah kecil itu tidak akan melihat kehadiran saya

 Dari balik jeruji besi pagar rumah glamor dan megah Bocah Manis Memesona

Seandainya ia tahu kehadiran saya menyerupai itu. Mungkin bocah wanita itu akan ketakutan dan berteriak sambil berlalri masuk ke dalam rumah seraya memanggil-manggil mama atau papanya. 

Bocah kecil wanita itu manis, imut dan memesona. Rambutnya yang pirang diikat ke samping kiri dan kanan. Kulitnya putih dan bersih. Pipinya padat berisi dan menggemaskan. Bibirnya memerah dibatasi oleh eretan gigi yang putih, higienis dan bagus. Matanya yang bundar dan bening. Sempurna sekali bocah kecil itu, gumamku dalam hati.

Dari tadi bocah wanita memesona itu bermain-main bersama kelinci kesayangannya di taman halaman depan rumahnya yang tidak begitu luas. Namun begitu  banyak bunga indah dan nyaman dipandang mata.

Hewan kelinci bocah wanita itu berwarna putih dengan bulu halus dan higienis namun kedua daun telinganya agak kelabu. Sepertinya binatang piaraan itu sudah sangat dekat dengan bocah itu.

Sesekali binatang itu berlari, bersembunyi, mempermainkan anak pemiliknya. Tentu saja sang bocah wanita itu ingin tau dan mengejarnya. Ketika kelinci bersembunyi di balik rimbunnya bunga kembang sepatu. Bocah wanita itu memanggil manggil.

”Putih, dimana kau bersembunyi? Ayo keluar…” seru sang bocah.

Karena kelinci yang dipanggil, “Si Putih” itu tidak keluar di balik persembunyiannya, sang bocah mengitari bunga kembang sepatu untuk mencarinya.

“Nah, Itu dia…” serunya kegirangan..Sang bocah mendekat, menangkap kelinci sahabat bermainnya.Si Putih menyerah. Hewan itu niscaya sudah paham jikalau pun ia ditangkap tak akan menyakitinya.

Bocah wanita nan memesona itu membelai-belai badan sang kelinci dengan tangan mungilnya. Kemudian mendekatkan pipinya ke badan kelincinya..

Meskipun berteman kelinci, bocah kecil itu nampak bahagia dan ceria. Tapi kedua orangtua atau saudaranya kemana ya? Begitu pikir saya...

“Hai bung…ngapain mengendap-endap disitu!. Mau menculik anak saya ya?” Seseorang terdengar berteriak membentak saya dari arah pintu pagar.

Saya menoleh. Kaget memang. Meskipun jarak pagar pekarangan tak lebih lima belas meter dari saya namun saya tak mendengar jikalau ada kendaraan beroda empat yang berhenti disitu.

Pengemudi kendaraan beroda empat Avanza silver itu keluar dari mobilnya. Kemudian menghampiri saya.

“Anda sanggup saya laporkan ke polisi alasannya gerak-gerik anda mencurigakan.,” ancamnya seraya menunjuk-nunjuk dan melangkah ke arah saya.

“Maaf, pak. Saya tidak bermaksud untuk menculik anak bapak. Saya hanya sekadar memperhatikannya  karena kagum dengan bocah kecil wanita anak bapak,” sahut saya sambil menyusun kedua telapak tangan minta maaf.

Laki-laki itu terdiam. Lalu membuka rayben hitamnya. Namun kemudian lelaki di hadapan saya terlihat mengerutkan dahi sambil memperhatikan saya.

“Kamu Afriadi, bukan?” 

Tiba-tiba ia menyebut nama saya. Sepertinya ia mengenal saya. Oh, tiba-tiba saya juga merasa pernah mengenal orang di depan saya. 

“Iya, benar. saya Afriadi. Kamu Burhan...?” 

“Iya, iya, saya …” sahutnya mengangguk-anguk. Kemudian Tanpa saya memeluk saya penuh bersahabat.

“Aduh, ngapain kau kesini, kawan? Aku tidak menyangka kita sanggup bertemu disini sesudah belasan tahun tak berjumpa.” ujar Burhan kemudian.

“Iya, . Saya juga tidak menyangka disini kita bertemu. Dan, ternyata bocah yang saya perhatikan dari tadi yakni putri kau sendiri. Cantik dan memesona ,” ujar saya malu.

“Haiii…kamu masih menyerupai saat kita masih sekolah di Sekolah Menengan Atas dulu. Suka memperhatikan cewek-cewek cantik. Putriku sendiri yang masih bocah masih kau perhatikan juga, hehehe…”

“Ah, kau sanggup saja, Burhan. Mamanya niscaya manis juga, bukan?” gurauku.

“Mamanya kalah manis sama anaknya,”

“Oh ya, mamanya mana?” tanya saya mengalihkan pembicaraan.

“Pergi arisan. Barusan saya kembali mengantarnya.”

Lalu Burhan mengajak saya mampir. Kami bercerita kesana kemari mengingat masa kemudian di SMA. Sampai saya pamit, saya tak melihat bocah manis memesona putrinya Burhan. Bocah manis itu ternyata telah tidur alasannya kelelahan bermain.

Rabu, 04 Juli 2018

Guru Merdeka Itu Selalu Online

Pak Deka menghela nafas seraya meluruskan tubuhnya pada sandaran kursi. Matanya terasa lelah dan perih. Tak terasa telah dua jam lebih guru paruh baya itu mempelototi layar laptop. Berselancar di dunia maya menikmati sajian banyak sekali gosip terkini berkaitan dengan tugasnya sebagai seorang guru di sekolah menengah pertama.

 seraya meluruskan tubuhnya pada sandaran dingklik Guru Merdeka Itu Selalu Online

Segera guru Merdeka memutus koneksi internet. Kemudian mencabut perangkat modem dari port USB laptop. Tujuannya supaya pemakaian paket data tidak terus berjalan saat rehat.

Laptop dan modem usb, dua perangkat yang selalu dipakai oleh pak Deka untuk online di dunia maya. Laptop yang tidak sanggup dikatakan gres alasannya keluaran tahun 2008 dengan operating system (OS) Windows XP.

Untuk sanggup mengakses internet dan berselancar di dunia maya, pak Deka harus mengeluarkan sekian rupiah dana untuk membeli paket data. Konon memakai modem memboroskan biaya.ketimbang jaringan wifi.

Namun bagi pak Deka bukan duduk kasus ekonomis atau tidaknya koneksi internet. Bagi pak Deka yang terpenting yakni sanggup membuka susukan internet dimana dan kapan saja. Hal itu sanggup terpenuhi dengan memakai modem sebagai sarana koneksi internet.
*****
Setiap membuka laptop, pak Deka selalu terhubung dengan akun blogger, facebook dan twitter. Merdeka Saputra, begitu nama lengkap guru paruh baya itu, selalu log in dalam ketiga akun tersebut.
Dengan begitu pak Deka simpel membuka ketiga akun tersebut. Usai memposting artikel di blog pribadinya, guru yang lahir bertepatan dengan peringatan Proklamasi Kemerdekaan RI itu, membagikan postingan via media umum facebook dan twitter.

Jenuh dengan aktivitas blogging dan bermedia sosial ria,  pak Merdeka Saputra segera browsing melalui akomodasi mesin pencari google. Mencari-cari gosip ihwal peraturan terbaru yang berkaitan dengan guru. Mendownload perangkat pembelajaran sesuai kurikulum pendidikan yang berlaku.

Begitu banyak gosip bersiliweran di dunia maya ihwal dunia pendidikan. Hampir setiap detik terjadi pembaharuan gosip yang berkaitan dengan dunia pendidikan.
*****
Tiba-tiba Pak Deka tersenyum kecil mana kala membuka peraturan ihwal pendidikan.

“Oh, berubah lagi peraturan dalam sistem penilaian…” desis pak Deka pelan.

Tak mau ambil pusing dengan perubahan itu, pak Deka segera menutup akomodasi pencarian dan kembali membuka akun facebook. Ada notifikasi pesan masuk pada bab tab atas laman facebook. Segera pak Deka mengarahkan kursor mouse dan membukannya.

“Belum bobok ya, Pak? Bapak koq online terus? Nggak capek ya?” Begitu isi pesan pada messenger facebook dari salah seorang pengguna facebook yang masih online dinihari itu.

Pak Deka tersentak. Tidak berniat untuk membalasnya, pak Deka pribadi keluar dari akun facebooknya. Kemudian menutup seluruh laman dan memadamkan laptop.

Pak Deka gres menyadari, meskipun tak membuka laman facebook, pengguna lain yang menjadi teman niscaya mengetahui pak Deka online terus di facebook.

Ini menjadi pelajaran bagi pak Deka supaya usai membuka facebook segera log out supaya tidak diketahui online terus  oleh pengguna lain.
Pak Deka tersenyum kecil. Menatap jam digital di sudut tab bawah laptopnya. Ternyata sudah hampir subuh.

Kamis, 28 Juni 2018

Semua Sudah Menjadi Guratan Takdir

Bagaimana pun pandangan tetangga sekeliling, mas Yuda tetaplah suamiku. Pria yang telah menikahiku 30 tahun silam dan menunjukkan tiga orang anak kepadaku. Sebagai kepala keluarga, mas Yuda akhir-akhir ini sering mendapat gunjingan dari tetangga sekitarnya.

Bagaimana pun pandangan tetangga sekeliling Semua Sudah Menjadi Guratan Takdir

Perbedaan usia yang mencolok. Status pendidikan mas Yuda yang tidak tamat sekolah dasar. Tidak menciptakan saya surut untuk mendapatkan mas Yuda. Yang penting bagiku waktu itu kedua orangtuaku mendapatkan mas Yuda.  

Lagi pula mas Yuda sudah mapan dalam ekonomi. Mas Yuda berusaha sebagai pedagang rempah-rempah yang sukses. Aku pikir cocok dengan profesiku sebagai pegawai negeri dengan bekal ijazah SMP.

“Mas, saya menerimamu apa adanya meskipun usia kita jauh beda,” Begitu kataku usai menikah dengan mas Yuda.

“Apa kau tidak akan merasa aib alasannya yakni saya tidak tamat SD, Yati?” tanya mas Yuda ragu-ragu.

“Tidak mas. Yang penting bagiku, mas bisa menjalankan kiprah sebagai kepala keluarga.” Sahutku meyakinkan mas Yuda.

*****

Kini, sehabis tiga puluh tahun berlalu.  Aku tak pernah membayangkan bakal mengalami kenyataan hidup menyerupai kini ini. Mas Yuda nampak semakin tua. Sejak berhenti menjadi pedagang rempah-rempah, mas Yuda tidak mempunyai pekerjaan tetap. Apalagi kondisi badan mas Yuda semakin menurun. Tidak bisa lagi bekerja keras.

Mas Yuda bekerja apa saja untuk membantu kehidupan keluarga. Kadang-kadang menjadi buruh tani. Di dikala lain mas Yuda menyadap karet milik orang lain dan mendapatkan persenan.

Mas Yuda lebih banyak di rumah. Apalagi pekerjaan sebagaimana tinggal di pedesaan semakin sepi.

Kadang-kadang saya kasihan juga dengan mas Yuda. Ketika hendak berangkat kerja, mas Yuda akal-akalan sibuk mengerjakan sesuatu yang tidak perlu dikerjakan. Padahal, penghasilanku sebagai pegawai negeri kantoran tidak mencukupi.

*****

Aku tak menyalahkan gunjingan tetangga sekeliling. Hampir semua tetangga mempunyai anak berpendidikan tinggi, menjadi sarjana. Padahal tetangga di sekitar lingkunganku kebanyak hanya seorang petani karet.

Ketika berkumpul dengan ibu-ibu yang bekerja di dapur dalam persiapan perhelatan tetangga, saya sering merasa risih. Mereka sering bercerita ihwal sekolah dan pendidikan anak.  Tentang bawah umur mereka yang sukses dan  berumah tangga.

Sementara anakku sendiri? Aku hanya mengurut dada. Menarik nafas berat mengingat nasib anak-anaku. Dua orang anakku putus sekolah di sekolah kejuruan alasannya yakni tidak naik kelas. Seorang lagi memang telah menamatkan sekolah kejuruan namun kini merantau ke kota lain dan jarang pulang.

Aku tak menyesal jikalau anak-anakku putus sekolah. Anak-anakku memang malas berguru selama bersekolah. Padahal saya telah berusaha untuk membiayainya dengan baik supaya dia rajin belajar. Tetapi hal itu tak meresap ke dalam hati anak-anakku.

*****

Kini, saya juga menyadari jikalau pendidikan itu penting bagi anak. Dengan pendidikan yang memadai akan menciptakan anak menjalani hidupnya lebih kreatif dan layak. Memiliki semangat untuk mencari pekerjaan yang layak dan menjalani kehidupan yang lebih baik.  Dan itu sudah saya lihat sendiri bawah umur tetangga yang sudah sukses.
Simak juga : Orang Paling Kaya di Dunia
Namun demikian tak mungkin saya meratapi kenyataan hidup ini. Semua sudah guratan takdir dari yang maha Kuasa. Jika anak-anaku gagal dalam pendidikan. Mungkin cucu-cucuku akan bisa menebus kenyataan ini dengan meneruskan pendidikannya setinggi mungkin. (*Kiriman : Purwadi, Jambi)